10 TAHUN PENGEMBANGAN FASILITAS RUTAN TERBENTUR BIROKRASI ANGGARAN

Penulis : Halim 

Berantas.co.id – Garut – Rumah Tahanan (Rutan) bagi sebagian kalangan orang seringkali diidentikkan sebagai tempat buangan, karena di tempat itulah berkumpul para pesakitan hukum.

Meskipun ‘tempat buangan’, tetapi bukan berarti para penghuni Rutan tidak berhak atas fasilitas yang layak.

Kementetian Hukum dan HAM (Menhukham) selaku instansi terkait menyadari bahwa kondisi secara umum masih jauh dari layak.

Niat untuk memperbaiki sudah beberapa kali diungkapkan oleh pihaknya. Seperti diantaranya:

1). Pengadaan wartelsus yang sudah mulai terealisir.

2). Pembangunan Rutan di wilayah pemekaran.

3). Rehabilitasi Rutan dengan penambahan ruang hunian, sampai optimalisasi pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat, dan beberapa program binaan lainnya.

Dalam hal ini, Kepala Rutan Garut, Sukarno Ali mengatakan segala bentuk pengembangan tersebut masih belum berimbang dengan ‘pembengkakan’ jumlah tahanan/narapidana, sehingga dampaknya kini melebar ke masalah ketersediaan infrastruktur yang memadai.” Ucap Ali saat ditemui wartawan, Sabtu (28/4).

Ia juga mengatakan salah satunya adalah masalah standar sanitasi yang berkorelasi erat dengan kesehatan tahanan/narapidana.

“Saya kira sanitasi infrastruktur Rutan/Lapas di Indonesia yang masih jauh dari standar kelayakan internasional. Ketidaklayakan ini menjadi parah dengan kelebihan muatan (overcapacity) di sebagian besar Rutan/Lapas Indonesia.” papar Ali. 

Terkait masih kurangnya pengembangan fasilitas maupun ruang infrastruktur juga diaminkan oleh Menhukham (alm) Andi Matalatta tahun 2008 lalu.

Ditempat yang sama, dalam pidato sambutan yang dibacakan oleh Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono pada tahun 2008 lalu (@copyright_sumber.red), dikatakannya kapasitas 423 Rutan/Lapas di seluruh Indonesia dihuni oleh 127995 orang. Padahal, kapasitas normalnya hanya 86550 orang. Jadi, Rutan/Lapas kita sudah over kapasitas sebanyak 41445 orang, bila dipresentasekan sekitar 47,88%.

“Upaya perbaikan sayangnya terbentur masalah klasik, yakni anggaran, dari segi jumlah, anggaran negara yang dialokasikan untuk Rutan/Lapas relatif cukup.” ungkapnya.

Sebagai gambaran saja, pada tahun 2007, pemerintah mengalokasikan anggaran negara untuk Dirjen Pemasyarakatan sebesar Rp129 miliar. Terbesar ketiga dari keseluruhan anggaran Dephukham (sekarang Kemenhukham.red) Persoalannya dana sebesar itu ternyata rumit birokrasi pencairannya.

Bayangkan, hanya demi turunnya anggaran saja, Dephukham (sekarang Kemenhukham.red) harus menunggu satu sampai dua tahun lamanya. Memang sudah prosedur normal jika harus menunggu satu sampai dua tahun untuk turunnya anggaran, ungkap Untung Sugiyono saat itu. Dia menjabarkan urutan prosedur pencairan anggaran, harus ke Kanwil dulu, kemudian Sekjen, DPR, terus dibentuk tim peninjau, dirapatkan lagi, baru diberikan. Jadi wajar kalau lama.

Untuk situasi ini, anggaran bisa cepat dikeluarkan dan tidak harus melewati prosedur berbelit, menunggu bertahun-tahun, seperti prosedur biasanya. Kan ada namanya dana tanggap darurat yang memang digunakan untuk keadaan darurat seperti itu, jelasnya.

Sementara itu, ditahun yang sama (2008.red) Direktur Bina Perawatan Kuntoro, berpendapat kriteria mendesak seharusnya tidak terbatas pada situasi bencana alam saja. Perbaikan infrastruktur dalam kondisi Rutan/Lapas yang overcapacity dapat dikategorikan mendesak, usulnya. Masalahnya banyak dari bangunan Rutan/Lapas yang masih merupakan bangunan lama warisan Belanda.

Menyikapi hal itu, Kepala Rutan Garut, Sukarno Ali menyayangkan lambatnya penerapan system birokrasi anggaran, sehingga sebagai pelaksana dilapangan sering berbenturan dengan konseptual yang tidak bisa direalisasikan.

“Fase 2008 sampai sekarang mungkin sudah ada perubahan meskipun tidak secara signifikan, semua butuh proses.” tutup Ali.

Comments

comments