Carut Marut Pendidikan Di Kabupaten Garut

Penulis : halim / redaksi

Berantas.co.id, Garut – Carut marutnya birokrasi, dan konstruktional penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Garut Jawa Barat mengundang keprihatinan dari berbagai pihak, serta dari kalangan akademisi.

Hal itu menarik perhatian Prof. DR. Syahidin. M.Pd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Ia mengatakan, konstruksi birokrasi dan penempatan Pejabat yang tidak memahami tupoksinya menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Viralnya seorang PJS Dinas pendidikan di Kabupaten Garut, jelas Syahidin pada media ini, dengan mudahnya pejabat sementara itu mengeluarkan statement yang dinilai kurang elegan bahkan sangat menganaktirikan Guru honorer yang secara the facto lebih banyak daripada Guru tetap.

“Seorang oknum PJS Pendidikan Kok ngomong kalau guru honorer adalah guru ilegal, sudah ngawur itu.” hardik Syahidin.

Tambah Ia, menurut data Guru honorer di Garut mencapai 60%, namun sangat mengenaskan honor yang diterima hanya Rp.300rb per bulan.

“Saya orang asli Garut dan sangat prihatin dengan pendidikan di Garut, banyak orang Garut yang menjadi pejabat di tingkat Pusat, namun perhatian mereka terhadap kabupaten ini bisa dikatakan sangat kecil untuk pendidikan.” papar Syahidin.

Ironinya kata Syahidin, akibat dari kurangnya perhatian dari pejabat yang berwenang terhadap pendidikan, maka baru-baru terjadi peristiwa yang kurang mengenakan yaitu terjadinya LGBT, atau perilaku menyimpang papar.

Berangkat dari keprihatinan ini, Syahidin ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat Garut, karna ia sendiri asli putra Garut.

“Bagaimana mungkin pendidikan Garut bisa maju, kalau pejabatnya sendiri tidak memiliki akses keluar atau ke Pusat. ” jelas Syahidin.

Penempatan pejabat yang tidak memahami fungsinya sendiri, korek Syahidin menjadi penyebab utama pendidikan di Garut semakin terkebelakang.

“Yang utama itu komitmen dan konsistensi Pemerintah Kabupaten Garut itu sendiri harus mumpuni terhadap kelangsungan pendidikan. Jika tidak, maka Garut akan terus memiliki SDM yang rendah. “keluh Profesor yang sangat low profile ini.

Dalam model pembelajaran, kata ia ada yang disebut pendekatan pendidikan dan pendekatan pembelajaran. Dalam pendekatan pembelajaran ada yang namanya Teacher Centre dan Student Centre, pada Teaher Centre pendekatan pembelajaran sumbernya ada di Guru, Guru itu harus terus memberikan arahan.

Sambung Syahidin, dengan munculnya paradigma baru, yaitu Student Centre, Guru seenaknya saja, anak SD dan SMP disuruh browsing sana browsing sini, hal itu membuat anak murid jadi malah mengakses hal-hal yang tidak benar.

“Terjadi kasus LGBT kemarin di Garut akibat dari mudahnya anak murid mengakses internet, dalam kasus ini tidak serta merta anak murid disalahkan, menurutnya anak Sekolah Dasar dan SMP belum terlalu penting diterapkan yang namanya Student Centre.” ucap Syahidin.

Diterangkan Syahidin bahwa Guru itu adalah ujung tombak, ada Guru dan Kepala Sekolah. Mereka harus ditingkatkan Uji Kompetensi, bila perlu sebelum jadi Kepala Sekolah harus ada Pusat Pendidikan Calon Kepalah Sekolah, (Pusdikasek), tidak serta merta diangkat jadi Kepsek, hal ini tentu saja bermuara pada peningkatan SDM yang memiliki intelektual berpikir dan tentunya mampu menduduki jalannya Pemerintahan Daerah.

Comments

comments