Kontri : Robby
Editor : redaksi
Berantas.co.id, Banten – Ketika,pemerintahan Hindia Belanda kembali, timbul gagasan untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921 sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan penduduk.
“Isitlahnya dikenal dengan nama Versponding Warde yang berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau.
Pengenaan tarifnya sebesar 7,5 (tujuh koma lima) % dari hasil. Pada tahun 1934 sudah ada Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga zaman kemerdekaan hingga sekarang.
“Oleh karena itulah, kita dapat menyebut bahwa Pajak Bumi dan Bangunan merupakan cikal bakal dari pajak di Indonesia.
Pajak secara teratur dan permanen sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketika wilayah nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan pun sudah ada pungutan semacam pajak.
Persembahan itu disampaikan kepada raja dengan maksud sebagai wujud rasa hormat dan upeti, yang disampaikan oleh rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan maupun wilayah jajahan.
“Arti kalau saat ini pemerintah Indonesia menerapkan pajak kepada rakyatnya,berarti pemerintah Indonesia masih menganut sistim ilmu penjajah kolonial Belanda.Secara tidak langsung rakyat Indonesia belum menikmati program pemerintah Indonesia yang mengacu pada nilai nilai luhur Pancasila.
Artinya Prinsip dan pola pikir nilai nilai Pancasila belum diterapkan di negara merdeka Indonesia dengan menganut filsafah Pancasila.Sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
* Penulis : Robby Liu
* Pancasila dan Pajak
* Banten 1-6-2024