Penulis : Windu
Berantas.co.id – Jakarta – Masih ingat H. Mahbub Djunaedi dan Adam Malik? Kedua tokoh ini dikenal sebagai begawan wartawan Indonesia. Keduanya tidak mengenyam perguruan tinggi maupun gelar sarjana. Keduanya hanya “SI” alias tidak tamat SD.
Namun reputasi keduanya luar biasa: melebihi sekolahnya.
Mahbub, selain pernah memimpin surat kabar Duta Masyarakat milik NU, juga dikenal kolumnis. Tulisannya nyinyir dalam menelaah sesuatu.
Sedangkan Adamc Malik – kakek dari salah pengurus PWO IN, Syalimar Malik – bukan hanya pendiri dan memimpin Antara, juga menjadi orang kedua di republik ini, dus pernah memimpin Sidang Majelis Umum PBB.
Luar biasanya, dua tokoh panutan kita ini, ketika memimpin surat kabar dan kantor berita, secuil pun belum pernah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang kini jadi menu utama Dewan Pers dalam meningkatkan profesional wartawan negeri ini.
UKW dikeluarkan Dewan Pers – tertuang dalam peraturan NO I/peraturan – DP/II/20I0/, cantelannya sesuai fungsi Dewan Pers Pasal I5 ayat 2, UU Pers No 40 Tahun I999, khususnya meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Tinjauan itu sah-sah saja. Tidak perlu diperdebatkan. Apalagi, dalam versi Dewan Pers, terjadi degradasi wartawan. Siapa saja bisa jadi wartawan, termaksud Pemimpin Redaksi. Padahal bekal mereka belum mumpuni, belum pernah menulis, memahami kode etik jurnalistik dan segala pandangan minor lainnya.
Eh sudah begitu, regulasi membuat media, saat ini mudah menyusul dicabutnya SIUPP Harmoko oleh UU NO 40 tahun I999. Akibatnya, jumlah media massa di awal reformasi menjamur. Jari kita yang sepuluh tak cukup menghitungnya. Belum lagi jumlah wartawan yang berkerumun di lembaga pemerintah. Gedung DPR menjadi saksi bejibunnya wartawan, sehingga membuat gerah tuan-tuan di parlemen.
Di sisi lain, era globalisasi membutuhkan spesialisasi, bukan lagi general. Makanya, entah siapa yang memulai, muncullah usul mepakukan kompetensi kewartawanan, sama seperti guru dan profesi lainnya. Tujuannya, tidak lain meningkatkan profesionalitas wartawan. Sampai di sini hajatan UKW Dewan Pers masih benar.
Cuma, persoalannya, soal UKW bukan sekadar di ruang kelas. Tapi melebar aplikasinya. Tuan – tuan di Dewan Pers yang isinya akademis dan wartawan senior itu, memberikan label yang tidak enak: hanya mengakui wartawan yang UKW.
Lho buktinya, dalam surat edaran ke instansi pemerintah hanya melayani wartawan UKW, bukan non UKW. Diskriminasi ini terjadi pada wartawan yang lahir di era reformasi ini. Sedang non UKW tolak atau usir saja jika meminta wawancara.
Surat edaran ini, jika dikaitkan definisi wartawan, jelas bertolak belakang dengan batasan wartawan.
Adapun wartawan hanya dibatasi mencari, mengumpulkan informasi, kejadian, memilah-milahnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, siaran, baik cetakan, televisi, radio dan elektronik lainnya, termaksud internet yang saat ini marak. Tak ada embel-embel UKW, yang sifatnya hanya untuk complement SDM saja. Lagipula, cukup banyak orang piawai menulis berita tanpa lulusan UKW.
Lainnya, entah kenapa, wartawan UKW itu juga dilindungi oleh Dewan Pers yang pendekatannya dalam menyelesaikan berita selalu meminta kepada yang dirugikan s hak jawab maupun koreksi. Sedang non UKW ke monster UTE, langsung masuk bui dan tahanan dengan tuduhan pencemaran nama baik, mengumbar kebencian.
Pengakuan istimewa ini diakui oleh beberapa wartawan yang mengikuti UKW saat menjadi peserta yang menggruduk Dewan Pers. Mereka datang selain bentuk solidaritas, juga sebagai saksi diskriminasi peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers.
Jadi, andai saja kedua tokoh tadi hidup – Mahbub dan Adam Malik, pasti akan orasi, menggruduk Dewan Pers yang bersifat diskriminasi yang tidak sesuai amanat UUD I945, tidak sesuai juga dengan kode etik yang mengharamkan pemberitaan tendesius, sekaligus melupakan kelamnya pers saat era SIUPP-nya Orde Baru.