NARASI GBHN dan HUMOR PEMINDAHAN IBUKOTA RI ?

Penulis : Mukholis siagian

Berantas.co.id, Padang – Setiap kondisi menyediakan peluang untuk melangsungkan pembangunan, dimana peluang tidak akan berdiri tunggal, selalu ada pilihan untuk diterapkan dan dikorbankan. Begitu juga kondisi Indonesia, ditengah memanasnya kontestasi percaturan global dan problematika nasional belakangan ini, ternyata salah satu pilihan kebijakan pemangku kepentingan Negara ditengah banyaknya pilihan pembangunan adalah memindahkan Ibukota RI dan mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
-Al Mukhollis Siagian

Belakangan ini bumi nusantara di hadapkan pada dua wacana besar yang menuai kontroversial dan silang pendapat dari berbagai kalangan, mulai dari pemangku kepentingan negara hingga masyarakat biasa. Dua wacana tersebut adalah pengaktifan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan pemindahan Ibukota RI ke Kalimantan.

Selanjutnya, kedua wacana ini menjadi narasi besar yang mengubah pola sorotan publik terhadap kondisi Negara di tengah kontestasi pembangunan global. Dimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia sedang menohok segala sendi-sendi kehidupan menuju modernisasi. Di sisi lain, kemasyarakatan Indonesia berada pada tahap postmodern dan psikologi sosial yang post-truth merupakan indikasi bahwa sosial secara global sudah sama dengan berbagai perkembangan didalamnya.
Selain itu, arah keseriusan pemerintah terhadap kedua wacana ini tidak lagi bisa dibendung, terkhusus dengan pemindahan Ibukota RI ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kartanegara dan Kota Penajam Paser Utara. Dalam hal ini, rasionalisasi pemerintah memindahkan Ibukota adalah sebagai indikasi kemajuan bumi nusantara, juga sebagai langkah mengurangi berbagai beban Jakarta yang sudah 74 Tahun menjadi Ibukota, seperti halnya pembuangan sampah, kepadatan penduduk, kebanjiran dan lainnya. Sedangkan untuk alasan pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi Ibukota baru adalah letak geografis dan geopolitik yang sesuai dengan kondisi nusantara yang merupakan titik equilibrium Barat dan Timur, terlebih alasan yang mungkin cukup bisa diterima publik adalah langkah pemerintah untuk menjadikan Negara maju yang tidak tergantung dari energi fosil dan kawasan Ibukota yang asri (greencity) bisa terwujud melalui Kalimantan Timur.
Bagi penulis kondisi ini hanyalah sebuah narasi besar yang mengundang humor. Apalagi kalau kita mulai memahami bagaimana paradoks yang terkadung di dalamnya yaitu, kondisi Indonesia sedang gencar menuju modernisasi sendi-sendi kehidupan, namun kondisi sosialnya sudah memasuki post-modern dan psikologi sosial-politik post-truth. Bukan tidak mungkin pembangunan ini dilanjutkan, tapi kemungkinan yang lebih mendominasi adalah penolakan mengingat urgensinya masih bisa dinomorduakan. Apalagi merunut pemikiran Lyotard salah satu peletak post-modern yang menyatakan bahwa kehadiran post-modern itu sendiri adalah sebagai kritik grand-narative (narasi besar), dimana yang dimaksud sebagai narasi besar adalah modernisme.
Begitu juga dengan Foucalt sebagai salah satu peletak pemikir post-strukturalis atau sama dengan post-truth dengan pemikiran liarnya menyatakan bahwa sebuah kekuasaan akan menimbulkan gerakan anti kekuasaan. Artinya kebijakan yang diambil oleh pemangku kepentingan Negara (pucuk kekuasaan Negara) akan sering mendapat pandangan penyeimbang dari kekuatan sosial, baik itu berupa kritik maupun saran oleh aktor-aktor sosial, seperti akademisi, politisi oposan dan sebagainya. Tujuannya adalah baik, agar mengambil kebijakan dengan tepat dan mengendarai Negara dengan tidak ugal-ugalan. Sebab yang akan menanggungnya adalah seluruh komponen Negara (masyarakat, pemerintah, dan swasta).

Humor dan Rumor

Tidak bisa di pungkiri kondisi pada hari ini adalah pertentangan antara rasional dan sentiment yang hampir setiap orang mengidapnya, khususnya pemerintah dan masyarakat. Pada satu kondisi kita mendapati bahwa alasan rasional pemerintah melakukan pembangunan berbasis hutang luar negeri memperoleh pertentangan sentiment dari sekelompok masyarakat yang mungkin bisa mengatasnamakan agama, golongan dan berbagai model lainnya. Di lain kondisi kita juga menemui bahwa alasan rasional masyarakat melakukan gerakan penyeimbang melalui demonstrasi, misalnya gerakan kedaulatan rakyat pada 21-22 Mei kemarin memperoleh pertentangan sentiment pemerintah yang mungkin mengatasnamakan demi kondusifitas dan kestabilan Negara.
Selain itu, yang namanya manusia susahlah untuk kita temui dalam hal mengakui kesalahannya, apalagi untuk disalahkan, tidak ada yang mau meskipun itu sebuah kondisi positif untuk merubah lebih baik. Dan kondisi itulah yang sedang dijunjung tinggi oleh para pemangku kepentingan Negara, masih minim pemikiran bijaksana dan perasaan dewasa. Sehingga cara terbaik untuk masuk pada kondisi ini adalah melalui humor, melakukan kritik pada pemerintah dengan gelak canda bermaknakan mari bahagia dan tertawa bersama tapi jangan lupa untuk lebih serius lagi menjalankan amanah.
Selanjutnya, sudah menjadi pengetahuan umum untuk kita bahwa pemerintahan hari ini sangat dekat dengan Tiongkok, mulai dari pembangunan, investor, hutang luar negeri, hingga keberpihakan secara tersirat Indonesia pada Tiongkok terkait perang dagang AS-Tiongkok yang masih belum usai. Olehnya sering kita peroleh rumor di tengah masyarakat “pemerintah dan komunis itu sedekat urat nadi dengan darah yang mengalir disekelilingnya”. Belum lagi analisis geopolitik sederhana masyarakat yang beredar tentang cara pemasukan orang-orang China (penyelundupan) menarik perhatian, yaitu kondisi Sumatera Bagian Timur, Jawa Bagian Utara dan Kalimantan Bagian Barat sebagai pintu jalur lautnya yang mungkin bisa dikatakan diperkuat dengan orang-orang China yang tinggal pada tiga daerah tersebut. Dan analisis tersebut dikaitkan dengan pemindahan Ibukota RI, yang laun lambat juga akan dihubungkan dengan GBHN maupun amandemen UUD sebelumnya.
Belum lagi, kondisi bangsa yang belum selesai persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan, seperti yang terjadi di Papua. Atau perang rumor ideologi, seperti halnya pembubaran HTI, pembungkaman ormas FPI, komunis, marxisme, leninisme, dan islam nusantara yang sampai hari ini masih bergelut di ring pertengkaran. Artinya, narasi-narasi yang menjadi produksi dan konsumsi publik ini menjadi humor di tengah pembangunan sendi-sendi kehidupan global modern. Dimana seharusnya kita bergotongroyong dalam membangunan bangsa seperti yang diamanatkan oleh Founding Father Ir. Soekarno.

Untuk itu, rasanya sia-sia saja pemerintah melakukan pemindahan Ibukota RI ke Kalimantan Timur mengingat kondisi bangsa pada hari ini, waktu dan kondisi belum sejalan dengan tujuan. Serasional apapun alasannya menuju kemajuan jika tanpa diiringi sensasional bersama merasakan kebahagiaan adalah kehampaan yang nyata. Karenanya, para pemangku kepentingan Negara dan pemangku kebijakan publik harus mampu menyelesaikan paradoks pembangunan ini demi kelancaran dan kebahagiaan bersama, mencapai esensialis pembangunan tanpa harus mengedepankan simbolis. Semoga!

IDENTITAS PENULIS
Nama : Al Mukhollis Siagian
Status : 1. Mahasiswa
2. Presiden Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik 2019/2020
3. Penggiat Literasi
4. Pemerhati Fenomena Ke-Tuhan-an
Jurusan : Ilmu Administrasi Negara
Asal Kampus : Universitas Negeri Padang
Tahun Masuk : 2017
No. HP : 0823-6035-5821 (Tlp/SMS) 0895-0381-1190 (WA)
Email : [email protected]
No. Rek. : 00009-01-61-005022-7 (BTN)

Comments

comments