Penulis : Halim
Berantas.co.id, Jakarta – Sudah sekian puluh tahun masyarakat adat Mataram Udik melalui Pemerintah Kabupaten,
Provinsi dan juga Pemerintah Pusat meminta kawasan hutan tersebut dikembalikan fungsinya sesuai dengan apa yang tertuang dalam Register 47 way terusan, dan Besluwit Resident Lampung No. 249 yakni sebagai Hutan Produksi.
Saat ini kawasan hutan produksi tersebut dikuasai dan beralih fungsi dengan hadirnya sejumlah perusahaan perkebunan tebu antara lain, PT. Gula Putih Mataram/ PT. Bumi Sumber Sari Sakti, PT. Gunung Madu Plantations/ PT. Rejo Sari Bumi, PT. Sugar Group Companies/PT. Garuda Panca Arta dan Perambah Hutan, sehingga masyarakat hukum adat tidak bisa lagi memanfaatkannya sebagai sumber penghidupannya.
Namun perjuangan masyarakat Mataram Udik tersebut rupanya selalu membentur tembok tebal.
Melalui Surat-surat masyarakat hukum adat telah disampaikan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia hingga seluruh Kementrian/ Lembaga Negara dan Istansi terkait baik di tingkat Daerah maupun Pusat tidak mendapatkan tanggapan sampai dengan saat ini.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.281/Kpts-VII/1985 tanggal 02 Februari 1985 Tentang Pelepasan sebagian hutan produksi tetap way terusan register 47 seluas 10.510 Hᵃ.
Namun secara fakta yang terlihat dilpangan PT. Sugar Group Companies sebagai induk perusahaan – perusahaan tersebut telah melebihi ijin yang telah diberikan, sehinga dengan demikian PT. Sugar Group Companies telah mencaplok wilayah Hutan seluas ± 3.239 hektare, hal ini tak pelak membuat masyarakat adat Mataram Udik menuntut haknya.
https://youtu.be/SX-HC1Y1TfQ
Ketua Majelis Penyimbang Adat Lampung Usman Temunggung, Senin, (15/10), yang didampingi Adnan saat dimintai keterangannya di Jakarta, (15/10) mencerikatan sejarah peralihan hutan seluas 10.510 hektare ke PT. Sugar Group Companies dengan beberapa anak perusahaannya.
Dikatakan Usman, kami berjuang sejak jaman Soeharto sampai dengan Pemerintahan Jokowi bahkan kami sudah mengadu juga ke Komnas HAM, namun tidak ada satupun yang membuahkan hasil.
Lanjut ia, akibat dari kehadiran perusahaan tersebut warga masyarakat disekitarnya hidup dibawah garis kemiskinan, yang kami butuhkan adalah kehadiran Pemerintah dan Negara guna mengembalikan fungsi kawasan hutan tersebut sebagai hutan produksi untuk masyarakat.
“Kami mau mengaduh kesiapa lagi?, apa kepada Tuhan atau Nabi Muhammad. Jika memang perlu, maka tolong kasih tau alamatnya agar kami bisa datangi sang Pencipta.” pungkas Usman.
Hal terpisah ketika dikonfirmasi awak media melalui komunikasi selullar kepada pemegang kuasa MPAL, Alih Budhi, Selasa (16/10), ia menjelaskan, terkait penyelesaian masalah di Register 47 Way Terusan, Alih Budhi akan segera melaksanakan gelar permasalahan dengan Dirjen Sengketa Lahan pada Kementrian ATR /BPN RI.
“Buat saya, simpel saja… Kembalikan Hak Ulayat dan perlakukan mereka sebagai Tuan Rumah di tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan secara turun temurun”. Tegas Alih Budhi.
Disampaikan juga bahwa Ia bersama tim yang telah dibentuknya akan berjuang total untuk kasus ini, karena sejatinya Hak Ulayat itu berada pada strata kepemilikan tertinggi menurut tata aturan agraria.